Rabu, 28 November 2012

SISTEM PEMERINTAHAN INDONESIA



BENTUK DAN SISTEM PEMERINTAHAN 

INDONESIA


1. Pengertian Sistem Pemerintahan
Pada prinsipnya sistem pemerintahan itu mengacu pada bentuk hubungan antara lembaga legislatif dengan lembaga eksekutif (Sri Soemantri, 1981:76). Sir Walter Bagehot (1955) kemudian membedakan antara sistem pemerintahan parlementer dan sistem pemerintahan presidensial. Meskipun sebenarnya Bagehot hanya sekedar mencoba untuk memperbandingkan antara sistem yang berlaku di Inggris dan di Amerika Serikat, namun pembedaan ini lalu menjadi klasifikasi pokok bagi sistem pemerintahan itu sendiri.
Namun demikian uraian tentang sistem pemerintah Indonesia di sini akan sedikit diperluas. Tidak hanya meliputi hubungan antara Presiden yang merupakan lembaga eksekutif dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga legislatif semata. Uraian di sini juga akan meliputi penjelasan sekedarnya tentang lembaga-lembaga ketatanegaraan Indonesia yang lain.

2. Perbandingan antara Indische Staatsregeling dengan UUD 1945
Rupanya secara umum telah diyakini bahwa sistem pemerintahan Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) itu adalah sistem presidensial. Keyakinan ini secara yuridis samasekali tidak berdasar. Tidak ada dasar argumentasi yang jelas atas keyakinan ini.
Apabila diteliti kembali struktur dan sejarah penyusunan UUD 1945 maka tampaklah bahwa sebenarnya sistem pemerintahan yang dianut oleh UUD 1945 itu adalah sistem campuran. Namun sistem campuran ini bukan campuran antara sistem presidensial model Amerika Serikat dan sistem parlementer model Inggris. Sistem campuran yang dianut oleh UUD 1945 adalah sistem pemerintah­an campuran model Indische Staatsregeling (‘konstitusi’ kolonial Hindia Belanda) dengan sistem pemerintahan sosialis model Uni Sovyet.
Semua lembaga negara kecuali Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), merupakan turunan langsung dari lembaga-lembaga pemerintahan Hindia Belanda dahulu, yang berkembang melalui pengalaman sejarahnya sendiri sejak zaman VOC. Sementara itu, sesuai dengan keterangan Muhammad Yamin (1971) yang tidak lain adalah pengusulnya, MPR itu dibentuk dengan mengikuti lembaga negara Uni Sovyet yang disebut Sovyet Tertinggi. Secara ringkas, maka apabila lembaga-lembaga pemerintahan Hindia Belanda menurut Indische Staatsregeling dan lembaga-lembaga negara Indonesia menurut UUD 1945 tersebut disejajarkan, maka akan tampak sebagai berikut:
Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sovyet Tertinggi
Presiden/Wakil Presiden
Gouverneur Generaal/
            Luitenant Gouverneur Generaal
Dewan Pertimbangan Agung
Raad van Nederlandsch-Indie
Dewan Perwakilan Rakyat
Volksraad
Badan Pemeriksa Keuangan
Algemene Rekenkamer
Mahkamah Agung
Hooggerechtshof van Nederlandsch-Indie
3. Hubungan antara Presiden dengan DPR
Alur berpikir seperti terurai di atas dapatlah membantu kita untuk memahami mengapa Presiden menurut UUD 1945 (sebelum amandemen) itu memiliki kekuasaan yang luar biasa besar. Hal ini dapat dimengerti, sebab Gouverneur Generaal, yang kekuasaannya ditiru oleh UUD 1945 dalam bentuk kekuasaan Presiden itu, adalah viceroy Belanda. Di tangan Gouvernuer Generaal-lah, kekuasaan tertinggi atas Hindia Belanda itu terletak. Atas dasar itulah maka dapat dimengerti bahwa Presiden menurut UUD 1945 (sebelum amandemen) itu relatifomnipotent.
Di lain pihak, DPR yang merupakan turunan Volksraad-pun tidak dapat melepaskan diri dari sifat-sifat Volksraad itu sendiri. Volksraad pada masa penjajahan Belanda itu dibentuk sebagai ‘wakil’ rakyat Hindia Belanda, yang berhadapan dengan Gouverneur Generaal yang mewakili Mahkota Belanda itu. Fungsi Volksraad dengan demikian pertama-tama adalah sebagai lembaga pengawas pemerintahan kolonial Hindia Belanda, bukan sebagai lembaga legislatif. Lembaga legislatif Hindia Belanda tetaplah Gouverneur Generaal itu sendiri. Pola hubungan ini diikuti oleh UUD 1945 (sebelum amandemen). DPR pertama-tama adalah lembaga pengawas Presiden, dan bukan lembaga legislatif. Lembaga legislatif menurut UUD 1945 adalah Presiden (bersama dengan DPR).
Namun dalam Sidangnya pada tanggal 19 Oktober 1999 MPR membatasi kekuasaan Presiden, dan mengalihkan kekuasaan legislatif dari Presiden bersama DPR tersebut kepada DPR (bersama Presiden). Konstruksi konstitusional ini lebih mirip dengan konstruksi model Inggris. Kekuasaan legislatif di Inggris sepenuh­nya ada di tangan Parliament, meskipun pengesahan secara nominal tetap ada di tangan Raja. Presiden dengan demikian bertindak sebagai the ‘royal’ gouvernment, dan DPR bertindak sebagai the loyal opposition.

4. Kedudukan MPR
Pada awalnya MPR mempunyai fungsi yang presis sama dengan fungsi Sovyet Tertinggi di Uni Sovyet atau Majelis Nasional di Republik Tiongkok (yang masih lestari berlaku di Taiwan dan Republik Rakyat Cina itu). MPR seperti halnya Sovyet Tertinggi maupun Majelis Nasional merupakan pelaksana Kedaulatan Rakyat. Dalam rangka itu MPR membuat Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang akan menjadi pedoman kerja pemerintahan selama lima tahun ke depan.
Akan tetapi MPR pada prinsipnya tidak dapat menyelenggarakan pemerintahan yang sebenarnya merupakan kewenangannya itu. Untuk itu maka MPR memberikan mandat pemerintahan itu kepada Kepala Negara (yang bergelar Presiden itu). Itu sebabnya maka maka Kepala Negara merupakan Mandataris MPR, yang tunduk dan bertanggung jawab kepada MPR. Hal inilah yang mendasari kewenangan Presiden untuk melaksanakan tugas pemerintahan di Indonesia itu. Hal ini mirip dengan sistem di Uni Sovyet pula. Sovyet Tertinggi menyerahkan mandat pemerintahan kepada Presidium Sovyet Tertinggi, yang bersifat kolektif itu (Denisov, A. dan M. Kirichenko, 1960).
Lebih jauh, dengan demikian tidaklah tepat apabila dikatakan bahwa Presiden itu berfungsi sebagai Kepala Negara seperti halnya sistem presidensial model Amerika Serikat (Thomas James Norton, 1945). Berdasarkan Penjelasan Umum UUD 1945, MPR memegang kekuasaan negara yang tertinggi. Untuk kemudian MPR mengangkat Kepala Negara yang bergelar Presiden itu. Dengan demikian jabatan yang menjalankan pemerintahan itu adalah Kepala Negara, sedangkan Presiden itu hanyalah gelar dari Kepala Negara Indonesia semata. Sebaliknya tidak tepat pula apabila dikatakan bahwa Presiden Indonesia itu juga merangkap sebagai Kepala Pemerintahan seperti Perdana Menteri Inggris (William A. Robson, 1948 dan Wade, E.C.S & Godfrey Phillips, 1970). Hal ini mengingat bahwa Presiden Indonesia itu mendapat mandat pemerintahan dari Pemegang Kedaulatan Rakyat, dan bukan dari Parlemen.
Namun politik hukum Indonesia sejak Masa Reformasi telah mengubah sistem ketatanegaraan Indonesia secara signifikan. Ada upaya untuk melakukan amerikanisasi sistem pemerintahan Indonesia. Sejak awal masa Reformasi, ada upaya nyata untuk menghapus eksistensi MPR ini, dan diubah menjadi sistem pemerintahan model Amerika Serikat. Pada ini muncul lembaga negara yang samasekali baru, yaitu Dewan Perwakilan Daerah. Secara politis, lembaga ini merupakan akomodasi dari hilangnya Fraksi Daerah dalam susunan MPR. Akan tetapi dari sudut kelembagaan itu sendiri, lembaga baru ini menjadi semacam lembaga Senate dalam susunan Congress di Amerika Serikat. Dengan demikian susunan MPR itu sendiri terdiri atas DPR dan DPD, mirip dengan susunan Congress, yang terdiri atas Senate dan House of Representatives itu. Bedanya, DPD di Indonesia itu tidak diberi kewenangan apapun, kecuali hanya memberi usulan dan pertimbangan. Sesuatu yang sangat tidak efisien dan efektif. Masalahnya mengapa Indonesia harus mengacu pada sistem Amerika Serikat? Entahlah. Seringkali muncul pertanyaan ironik: mengapa sistem pemerintahan Indonesia tersebut tidak mengacu saja pada Uganda atau Nepal misalnya, sebagai sesama negara yang berdaulat?

5. Eksistensi Penasehat Presiden
Reformasi sistem pemerintahan Indonesia di Masa Refomasi seperti terurai di atas ditandai pula dengan sebuah dagelan konstitutif. Melalui Amandemen Keempat pada tanggal 10 Agustus 2002 Dewan Pertimbangan Agung (DPA) sebagai lembaga pemasehat Presiden dihapus. Namun pada saat yang sama dibentuklah Dewan Pertimbangan Presiden (DPP). Masalahnya, perbedaan antara kedua lembaga ini hanya pada istilah ‘Agung’ dan istilah ‘Presiden’ semata. Tidak lebih, tidak kurang. Hal ini menunjukkan bahwa perancang perubahan ini samasekali tidak mengacu pada sejarah lembaga prestisius ini, dan rupanya juga tidak pernah mempelajari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1967, tentang Dewan Pertimbangan Agung itu sendiri.
Perlu diketahui bahwa lembaga pemasehat Kepala Negara semacam ini merupakan suatu lembaga kenegaraan purba yang telah ada sejak masa Romawi dahulu. Para kaisar Romawi itu senantiasa didampingi oleh sekelompok penasehat yang tergabung dalam Curia Regis. Lembaga pendamping Kepala Negara ini tetap bertahan hingga dewasa ini di pelbagai negara. Di Inggris terdapat Privy Council yang merupakan pendamping Kepala Negara Inggris (King/Queen). Pada masa sebelum Revolusi Perancis dikenal lembaga conseil du roy, yang pada masa Napoleon diganti menjadi conseil d’etat. Di Belanda terdapat Raad van State, dan di Malaysia serta di Brunai dikenal lembagaDewan Raja.
Pada hakekatnya bersama dengan kepala negara, lembaga penasehat ini merupakan sistem pemerintahan purba. Sistem pemerintahan ini baru memiliki sistem pemerintahan pembanding sejak munculnya teori Trias Politika, yang diterapkan di Amerika Serikat atas dasar Konstitusi Amerika Serikat itu sendiri. Pada saat membentuk sistem organisasi dagangnya VOC-pun juga mengikuti pola ini. Gouverneur Generaalmengendalikan reksa dagangnya di seberang lautan (overzee)  bersama dengan Raad van Indie (Kleintjes, Ph., 1932 & Schrieke, J.J., 1938-1939). Pada masa pemerintahan jajahan Hindia Belanda lembaga ini berubah nama menjadi Raad van Nederlandsch-Indie. Sedemikian prestisius dan terhormatnya kedudukan lembaga pendamping Gubernur Jenderal ini, sehingga Kleintjes (1932) menempatkan Raad van Nederlandsch-Indie ini sejajar dengan jabatan Gubernur Jenderal itu sendiri.
Inilah rupanya yang mendasari Ketetapan MPRS nomor XX/MPRS/1966, tentang Memorandum DPR-GR Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia, menempatkan DPA sejajar dengan Presiden sebagai sesama lembaga tinggi negara. Akan tetapi apapun posisinya, baik DPA maupun DPP merupakan lembaga pendamping Presiden. Tidak ada perubahan fungsi sedikitpun antara keduanya. Hal ini tampak jelas dalam pengaturan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1963 tersebut di atas. Jadi, tidak ada dasar akademik yang signifikan sedikitpun untuk menghapus DPA dan mengubahnya menjadi DPP itu. Tidak lebih daripada sekedar dagelan konstitusional itu tadi.

6. Sistem Keuangan Negara
Adapun mengenai Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) jelas lembaga kenegaraan ini mengam­bil alih fungsi Algemeene Rekenkamer. BahkanIndische Comptabilietswet (ICW) dan Indische Bedrijvenswet (IBW) tetap lestari menjadi acuan kerja BPK sampai munculnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003, tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004, tentang Perbendaharaan Negara. Bahkan Soepomo sendiri secara eksplisit mengatakan bahwa badan ini '... dulu dinamakan Rekenkamer, ...' (Muhammad Yamin, 1971:311).
Selanjutnya, kedudukan BPK ini terlepas dari pengaruh dan kekuasaan Pemerintah. Akan tetapi tidak berdiri di atas Pemerintah. Lebih jauh hasil pemeriksaan BPK itu diberitahukan kepada DPR (Bonar Sidjabat, 1968:9-10; Muhammad Yamin, 1971:308-311). Artinya, BPK hanya wajib melaporkan hasil pemeriksaannya kepada DPR. Dengan demikian BPK merupakan badan yang mandiri, serta bukan bawahan DPR. Hal yang sama dijumpai pula pada hubungan kerja antara Algemeene Rekenkamer dengan Volksraad.

7. Kekuasaan Kehakiman
Sama halnya dengan BPK, Mahkamah Agung juga mengam­bil alih fungsi Hooggerechtshof van Nederlandsch-Indie. Ketentuan-ketentuan tentang kekuasaan kehakiman warisan Hindia Belanda diambil alih pula ke dalam sistem hukum tentang kekuasaan kehakiman Indonesia beberapa waktu lamanya sampai terbentuk ketentuan yang baru. Bedanya, pada masa penjajahan Belanda dahulu, terdapat dualisme susunan kekuasaan kehakiman ini. Ada Europeesche Rechtsspraak yang menangani pelbagai perkara golongan Eropa, dan ada pulaIndische Rechtssspraak yang menangani perkara-perkara golongan inlanders (pribumi). Kelak pada masa penjajahan Jepang, dualisme ini dihapus.
Selain itu, pada masa penjajahan Belanda, badan peradilan agama merupakan badan peradilan khusus yang tidak berdiri sendiri. Artinya, pada Pengadilan Landraad ada jabatan Penghoeloe yang menangani perkara-perkara agama Islam, atas nama Ketua Landraad setempat. Hal ini tetap berlangsung di Pengadilan Negeri di masa Kemerdekaan. Perkara-perkara agama itu masih memerlukan fiat eksekusi dari Ketua Pengadilan Negeri manakala hendak dilakukan eksekusi. Hal ini baru berakhir tahun 1989 dengan munculnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, tentang Peradilan Agama. Sejak itu Badan Peradilan Agama menjadi badan peradilan khusus yang berdiri sendiri, sejajar dengan badan peradilan Umum.
Pada masa Reformasi, muncul dua lembaga kehakiman yang baru. Kedua lembaga kehakiman tersebut adalah Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial, yang muncul pada Amandemen Ketiga pada tanggal 9 November 2001. Komisi Yudisial tersebut diharapkan dapat mengatasi permasalahan yang menyangkut mafia peradilan, sesuatu yang keberadaannya antara ada dan tiada itu. Sementara itu Mahkamah Konstitusi merupakan suatu lembaga antitesa atas buruknya kinerja lembaga peradilan itu sendiri yang berpuncak pada Mahkamah Agung itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar